Ketindihan



Akhir-akhir ini, aku sering mengalami ketindihan. Berusaha bangun dari tidur yang tak diinginkan. Mencoba menggerakkan tangan dan kaki agar dapat kembali. Untungnya, aku selalu berhasil bangun dari kelumpuhan tidur atau ahli ilmiah menyebutnya dengan sleep
paralysis
.


Pengalaman itu sama sekali tidak membuatku trauma untuk pergi tidur. Bagiku, itu adalah sebuah peristiwa luar biasa sebab, “Waw, akhirnya aku bisa mengalami hal mistis!” Pemikiran itu muncul karena pengaruh lingkungan keluargaku yang mempercayai hal-hal mistis, walaupun tidak pasti selalu berhubungan.


Aku memiliki kebanggaan tersendiri dari pengalaman tidur. Pertama, aku sering bermimpi sebuah cerita yang sangat nyata dan seru. Itu membuatku terbangun hingga siang hari. Kedua, ketindihan yang baru kualami. Menurutku, pengalaman itu semakin menambah poin keunikan dari tidurku.


Aku merasa senang dengan keunikan itu hingga suatu hari ketakutan menjalar ke seluruh tubuhku, bahkan menyerang mentalku.


***


Matahari telah bertengger lurus di atas kepala. Terik panasnya siap menguapkan sisa-sisa air pada jemuran ibu-ibu rumah tangga. Angin sepoi-sepoi berhembus melewati celah-celah lubang rumah. Kemudian menerpa wajahku yang mulai terayu oleh belaiannya.


Aku tergiring ke pulau kasur yang empuk dan nyaman. Kemudian membaringkan tubuhku yang telah lelah seharian bekerja untuk acara tahlilan nanti malam. Pegal linu melebur menjadi kenikmatan. Semakin melelapkan tidur dalam mimpi yang dalam.


Potongan-potongan gambar mulai muncul. Merangkai sebuah cerita yang siap membawaku pada tidur yang panjang. Seperti mimpi-mimpi lainnya, cerita dimulai dengan awal yang random.


Terlihat sebuah ruangan dengan televisi yang diapit dua lemari kecil di sebelahnya. Sebuah foto terselip dalam pigura kayu sebuah lukisan kerajaan. Tidak salah lagi, aku sedang berada di rumahku. Lebih tepatnya, di ruang keluarga.


Aku sedang duduk di depan televisi. Tangan kananku mengambil potongan buah mangga yang dipotong serdadu. Mataku fokus ke layar televisi yang tidak jelas menayangkan apa.


Suara Ayah memanggilku dari ruang tamu. Aku melenguh malas, lalu beranjak dan berjalan malas menghampiri Ayah. “Ada apa?” tanyaku padanya.


Mataku tertuju pada beragam peralatan bengkel yang berserakan di lantai . Tampaknya Ayah sedang memperbaiki motor. Terlihat dari penampakan motor bututnya yang sudah tak berbentuk. “Tolong tahan sebelah situ!” perintahnya.


Aku mematuhi perintahnya. Kedua tanganku menahan bagian depan motor, sedangkan Ayah memasang ban belakang. Bunyi dari benturan peralatan bengkel dengan lantai berkecamuk. Ayah sibuk dengan kegiatannya sendiri dan aku sibuk dengan pikiranku sembari tangan yang tetap menahan motor.


Aku kembali melihat peralatan bengkel yang tercecer di lantai. Warna-warna hitam yang mencoreng di sana-sini. Tumben sekali Ayah memperbaiki motor sendiri. Biasanya kalau rusak langsung dibawa ke bengkel yang kebetulan bersebelahan dengan rumah.


Tiba-tiba sekelibat terlintas di benakku, memangnya sejak kapan Ayah mau memperbaiki motor sendiri? Aku tersadar. Aku sedang berada di alam mimpi!


*** 


Ruang tamu dan segala yang ada di dalamnya berubah menjadi potongan persegi yang perlahan menghilang. Kemudian tertarik ke dalam ruang kesadaran. Aku pun ikut terseret ke dalamnya dan berakhir dalam sebuah ruangan yang dingin oleh lembab dan gelap. 


Kamarku. Aku berada di kamar. Tersadar dari mimpi dengan mata yang masih terpejam. Aku mencoba membuka mata dan menggerakkan tubuh, tapi tak bisa. Mencoba kembali, tapi tetap tak bisa. Aku yakin sedang ketindihan.


Sekuat tenaga aku menocoba menggerakkan tubuh yang terasa lumpuh. Tak selang berapa lama, aku berhasil terbangun dengan gerakan yang mungkin ketika orang melihat seperti terkejut dari sebuah mimpi buruk. Meskipun sebenarnya aku tidak terkejut, tetapi jantungku memang berdetak lebih cepat seperti orang terkejut.


Aku menghela napas sejenak sebelum beranjak keluar kamar. Kamarku berada di ruang tamu. Aku bisa melihat dengan jelas ruang tamu dari celah pintu kamar yang terbuka.


Di ruang tamu, ada banyak orang. Entah mengapa saudara yang sekaligus menjadi tetangga berkumpul di rumahku. Ayah keluar dari ruang keluarga dengan nampan berisi buah-buahan di tangannya.


Tampaknya mereka sedang membuat rujak bersama. Terlihat dari sebuah cobek besar yang sudah lengkap dengan bumbu rujak di atasnya. Mereka tampak gembira. Bercanda gurau meramaikan ruang tamu rumahku yang biasanya selalu sepi.


“Ayo, Fid, makan rujak sama-sama!” ajak Ayah ketika melihatku keluar dari kamar. Senyumnya begitu cerah. Ayah dan saudaraku lainnya begitu akrab. Sungguh pemandangan yang indah, Ayah terlihat tidak seperti biasanya.


Ayah tidak seperti biasanya?! Aku tersadar kembali. Ayah tidak begitu akrab dengan saudaraku lainnya. Sejak persoalan itu menimpa keluarga kami… semua hubungan dengan keluarga besar Ibu terpecah belah. Itu berarti aku masih berada di alam mimpi.


Pemandangan indah itu seketika terurai menjadi potongan persegi yang berterbangan satu per satu. Aku kembali terseret ke dalam ruang kesadaran. Berakhir di tempat yang sama, kamar tidur, dengan mata yang masih terpejam.


Anehnya, aku sama sekali tidak merasa takut dan kembali berupaya terbebas dari kelumpuhan. Kali ini, respon tubuhku lebih cepat. Aku bergegas keluar dari kamar.


Ada ayah, ibu, dan adikku di ruang tamu. Mereka sedang bermain bersama. Adikku yang masih kecil sepertinya sedang belajar berjalan. Ayah menyulurkan kedua tangannya untuk menjaga adik dari jarak tidak terlalu jauh. Menuntunnya agar berjalan mengahmpirinya.


Aku tersenyum melihatnya. Anak bayi memang selalu terlihat lucu, ya. Bahkan saat mulai belajar berjalan pun membuat siapa pun yang melihat merasa senang. Begitu pula dengan Ayah dan Ibuku. Perlahan-lahan adik melangkahkan kaki, mencoba meraih tangan Ayah.


Tinggal beberapa langkah lagi ia sampai. Yap, berhasil! Ia berhasil! Ayah dan Ibu bersorak. Ayah membawa adik ke dalam dekapannya dengan wajah yang sangat bahagia.


Aku ikut tertawa bahagia, terbawa oleh suasana. Oh, adik kecilku yang lucu. Deng! Adik kecil? Bukankah adikku saat ini sudah memasuki kelas 3 SD?


Aku lagi-lagi tersadar masih berada di alam mimpi. Kembali terseret dalam ruang kesadaran dan berakhir di kamar tidur dengan mata yang terpejam. Sudah ketiga kalinya aku mencoba bangun.


Tentu saja, aku mencobanya kembali hingga bisa terbangun dari alam mimpi. Namun, kali ini sungguh berbeda. Rasanya tubuhku terlalu lemas untuk bergerak, seperti mengupayakan sesuatu yang tampak berakhir sia-sia.


Saat berhasil, anehnya, aku kembali terseret dan berakhir dengan posisi yang sama. Tak ada cerita pengantar apa pun.





Aku mencoba kembali menggerakkan tubuh dengan sekuat tenaga. Namun, dalam sekejap aku kembali terseret lagi dan lagi.


Ketakutan pun mulai menghantuiku. Tubuhku semakin melemas hingga aku mulai pasrah. Apa salahnya jika kubiarkan saja, mungkin tak akan terjadi apa-apa, pikirku. Namun, sebuah ingatan muncul seolah memperingatiku.


Sebuah artikel yang pernah kubaca mengungkapkan bahwa ketindihan bisa menyebabkan kematian. Aku benar-benar terjebak dalam tidur. Berada di ambang kegelisahan di antara kemungkinan-kemungkinan yang berujung kematian.


Ketakutanku semakin merebak dan memenuhi pikiranku. Tidak bisa.. aku harus bisa bangun. Aku tidak boleh menyerah!


***


Aku terus terseret dan berakhir di posisi yang sama, lagi dan lagi. Ketika mataku sedikit terbuka. Aku melihat bayangan Ayah dari celah pintu kamar yang sedikit terbuka. Tolong Ayah… tolong… Suaraku tertahan dalam hati. Tak akan bisa didengar olehnya.


Hampir tidak ada harapan. Satu-satunya yang tersisa hanyalah berdoa kepada Tuhan agar aku bisa bangun dari tidur yang melelahkan ini. Ya, dengan harapan dan tekad penuh aku mencobanya lagi.


Berhasil? Tidak. Aku masih berada di posisi yang sama. Namun, kali ini kamar tidurku terang benderang. Cahaya lampu menyorot di atas plafon. Oke, mungkin ini tanda mendekati keberhasilan. Aku pun mencoba kembali.


Dugaanku benar. Dengan napas terengah-engah dan jantung yang berdetak cepat, aku berhasil terbangun dan terduduk di atas kasur. Kuraba tangan, badan, kaki, kasur, dan bantalku. Memastikan bahwa aku benar-benar sudah berada di alam nyata.


Kemudian suara langkah kaki terdengar dari arah pintu kamar. Siapa itu? Jangan-jangan.. Oh, tidak. Jangan lagi!


Ternyata, itu Ibu. Aku menghela napas lega. Ibu yang melihat gelagat anehku pun bertanya, “Ada apa?” 


“Tidak.. tidak ada apa-apa. Ibu ada apa?” jawabku membalikkan pertanyaan.


Ibu menyodorkan sebuah kertas kepadaku. “Ini. Jangan lupa difotokopi 60 kali, ya,” ujarnya.


Aku terpaku. Pikiranku baru saja tersadar dari sebuah kebenaran. Selesai itu, Ibu melenggang pergi meninggalkanku yang mematung di atas kasur dengan tangan yang menggengam  ertas yang diberi Ibu.


Mataku perlahan melihat isi dari kertas itu. Tubuhku terkulai lemas hingga kertas itu terjatuh  bersama dengan tanganku di ata kasur.


“Astaghfirullah!” ucapku sembari meraup wajah dengan kasar.


Aku lupa. Benar-benar lupa. Tak kusangka selama peristiwa ketindihan itu, aku tidak menyadari bahwa Ayah sudah meninggal tiga hari yang lalu. Apa yang kulihat di alam mimpi adalah bayangan yang benar-benar hanya sebuah bayangan semata.


Aku tidak menyangka pengalaman yang tadinya menyenangkan, berakhir menegangkan hingga membuatku benar-benar ketakutan. Hari-hari berikutnya aku selalu was-was tidur di siang hari. Aku takut Ayah ada mimpiku dan berakhir seperti itu lagi.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama