Cerita-Cerita Panjang



Pohon-pohon terus tumbuh mengiringi kaki kurcaci yang sedang berlari mencapai tujuan. Pagi, Siang, Senja, dan Malam terus bergantian memayungi sang kurcaci sepanjang perjalanan. Panas dan Hujan terus sesekali datang membawa bekal persediaan. Suka dan Duka akan selalu gaduh kala mereka datang. 

Seperti saat ini, Duka yang tak mau berhenti beradu mulut dengan Panas yang terus datang tak bergantian dengan Hujan. “Kapan Hujan akan datang? Aku sudah muak melihatmu terus,” ucapnya pada Panas setiap kali melihat wujudnya yang terang benderang. “Menurutmu aku bagaimana? Kalau bukan karena perintah, mana mungkin aku mau menghampiri kalian terus menerus. Apalagi melihat wujudmu yang selalu bersembunyi di dalam tas punggung itu! Hhh… kalorku rasanya mau meledak saat ini, tahu tidak?!” balas Panas dengan nada jengkel.

Di samping Duka, Suka berusaha mencoba melerai mereka. Sejujurnya, ia merasa tak keberatan jika Panas yang terus mendatangi mereka. Bukan berarti ia membenci Hujan, keduanya sama-sama membuatnya senang. Namun melihat keadaan sang Kurcaci, tidak salah kalau Duka merasa emosi. Teman kecilnya itu saat ini membutuhkan Hujan untuk persediaan, apalagi perjalanannya masih panjang. 

“Kalian jangan bertengkar terus. Apa tidak malu didengar Kurcaci?” ucap Suka berharap adu mulut itu segera berhenti. Namun, pertengkaran mereka malah semakin menjadi hingga membuat telinga Kurcaci memanas. “Sudahlah, kalian berhenti bertengkar!” Kurcaci sangat risih dengan pertengkaran mereka yang tidak memberikannya solusi agar bisa memanggil Hujan, tapi malah membuat tenggorokannya semakin kering. 

Duka dan Panas seketika diam seribu bahasa. Langkah kurcaci tiba-tiba berhenti, lalu ia berjalan mendekati sebuah kursi kosong yang ada di pinggir jalan. Tas kayu yang sudah nyaman bersemayam di pinggungnya itu ia letakkan di sampingnya. Lalu ia duduk dan menengadahkan kepala. Melihat langit biru yang bersemburat di atas sana. 




“Indah juga warna langitmu, Siang,” puji Kurcaci kepada Siang yang dari tadi menyimak di atas sana. Namun, Siang tidak merasa begitu merespons pujian itu. “Kenapa kau berhenti Kurcaci? Ini bukan saatnya berleha-leha, waktumu sudah tidak banyak seperti dulu lagi.” Siang lebih merasa khawatir Kurcaci akan membuang waktunya sia-sia.

Kurcaci yang mendengar ceramah itu hanya bisa terkekeh pelan. “Aku tahu. Tapi, kursi kosong ini yang menggodaku. Bagaimana bisa aku menolaknya?”

“Tapi, Kurcaci ini tidak ben-..”

“Aku tahu, kok. Badanku terasa sedikit pegal, tenggorokanku juga mulai kering. Tak tahu kapan Tuan akan mengizinkan Hujan datang membawakanku persediaan.” Kemudian, ia terdiam sebentar. “Kau tahu kenapa ada kursi kosong di sini? Kalau tidak digunakan nanti jadi mubazir. Tuan tidak suka sifat mubazir, bukan? Karena itu, apa salahnya jika dimanfaatkan. Tenang saja, tidak akan lama,” kilah Kurcaci mencoba meyakinkan Siang. Ia tahu bahwa Senja sebentar lagi akan segera menggantikan temannya yang satu itu. Maksudnya sungguh baik, tapi semua yang diatur Tuan sungguh menguji kesabarannya. Ia perlu mendinginkan emosinya terlebih dulu.

Siang merasa kalah. Ia pun membiarkan Kurcaci melakukan apa yang ia mau. Ia tahu saat keras kepala milik teman kecilnya itu sudah menguar, apapun usaha untuk membujuknya akan berujung sia-sia.

Kurcaci mengeluarkan sebuah botol kayu dari tasnya. Ia meneguk setengah air dari botolnya. Persediaan yang ia punya kini tersisa tiga botol saja. Ia berharap masih bisa dipakai untuk beberapa hari ke depan sampai Hujan datang. 

“Enak, ya, menjadi kurcaci.” Suara Siang tiba-tiba memecah keheningan. “Punya akal dan emosi. Bisa bertindak sesuka hati,” lanjutnya dengan matanya yang sedang menerawang, entah ke mana. Namun, ucapan Siang itu berhasil membuat bibir Kurcaci membentuk seringai kecil. “Biar kuberitahu padamu, Siang. Sebagai salah satu makhluk yang berpengalaman di dunia ini. Mending tidak punya akal dan emosi,” ujar Kurcaci.

“Mengapa?”

Kurcaci menggeleng. “Aku tidak bisa menjelaskan lebih dalam. Rumit. Aku malah berharap lebih baik Tuan tidak memberiku akal dan emosi.”

“Kau bercanda, ya, Kurcaci? Akal dan emosi itu adalah nikmat. Itu menunjukkan bahwa kau diciptakan dengan sempurna. Bahkan, makhluk lain pun menginginkannya.”

Kurcaci tertawa mendengarnya. 

“Kenapa kau malah tertawa? Kau tahu Kurcaci, kami ada untuk mengerjakan apa yang sudah diatur Tuan sampai waktu kami habis. Tidak ada pilihan lain bagi kami. Berbeda dengan kaummu yang memiliki banyak pilihan. Berbekal akal dan emosi, kalian bisa memilih apa yang kalian ingin lakukan.”

“Justru itu…” ucap Kurcaci menggantung. Ia tahu menjelaskan perkara ini sedikit sulit, ia perlu memilih kata yang tepat agar maksudnya tersampaikan dengan jelas. “Benar, kenikmatan itu membawa kami memilih banyak jalan. Tapi, itu juga yang membuat kami bisa terjebak. Aku misalnya. Aku hanya bisa memilih, tanpa tahu apa yang terjadi. Tanpa tahu apa yang akan kuhadapi di depan sana. Itu yang membuat perasaan menjadi takut. Mengubah Suka menjadi Duka. Menimbun Duka dengan Duka akan membawaku cepat menuju kematian. Itu sungguh mengerikan.”

“Tapi buktinya tidak terjadi apa-apa dengan Suka milikmu. Dia juga tidak menunjukkan gejala perubahan,” balas Siang mengharapkan pembelaan seraya menatap Suka yang sudah tertidur lelap bersama Duka di dalam kotak ketil kayu. 

“Benar. Maksudku itu hanya perumpamaan,” tukas Kurcaci. 

“Tapi… aku tidak mengerti maksudmu Kurcaci,” ujar Siang.

“Sudahlah. Kau tidak mengerti karena berada di pihak yang menginginkan. Dan, kau baru bekerja beberapa hari, belum tahu apa yang terjadi di jalan setapak ini. Kalau mau kuberi nasihat, jangan mendambakan sesuatu yang tidak akan kau miliki. Percayalah… kenikmatan yang kau bilang itu, sesungguhnya menyimpan bumerang. Terimalah apa yang diberikan,” tukas Kurcaci. 

“Sebenarnya, entah mengapa… aku merasa tidak rela dengan pendapatmu itu. Tapi, benar katamu. Yah… mau bagaimana lagi. Jalani saja yang saat ini terjadi.”

“Yah… jalani saja yang sedang terjadi,” ucap Kurcaci mengulangi perkataan Siang. Helaan panjang terdengar dari mulutnya. Serangga segera melarikan diri dari baunya, kecuali kupu-kupu yang malah terbang mendekatinya. Kurcaci terkekeh, “Sudah lama kita tidak bertemu,” sapanya. Kupu-kupu mengepakkan sayapnya dan mengitari kepalanya.

Keheningan menyergap di antara mereka. Suara tenggereng memenuhi sela-sela lamunan, menyebarkan mantra tidur hingga mengundang kantuk menghinggap masuk. 

Suara dahan-dahan yang tertiup angin perlahan mengajak Kurcaci menutup mata. Namun, kicauan burung yang terdegar dari kejauhan membuatnya terbangun. Bibirnya perlahan melengkung membentuk bulan sabit, ia tersenyum.

Kicauan itu berasal dari burung-burung yang berkerumun di pohon-pohon yang telah mengiringinya langkahnya di jalan setapak ini. Kini, mereka sedang teruntai menjadi cerita-cerita panjang yang terkenang. 

Rasa kantuk semakin menyergapnya untuk menutup mata. Sembari menunggu Suka dan Duka bangun dari tidurnya, Kurcaci pun akhirnya ikut terlelap di atas kursi itu. Hingga saat terbangun, Senja sudah ganti bertengger di atas sana. 

Kurcaci segera membangunkan Suka dan Duka. Dua temannya itu entah mengapa akhir-akhir ini suka tertidur. Jika ia membiarkannya, perjalanannya akan tertunda hingga larut malam nanti. 

Setelah kedua temannya itu terbangun, Kurcaci pun memulai perjalanannya kembali. Bersama semburat oranye dari wujud senja yang menghiasi langit di atas sana. 




Baca juga: Ketindihan (Cerpen)

1 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama